PERTAMA, mula-mula kita harus meyakini bahwa konsep
Akidah Islam berbeda dengan konsep keimanan Kristiani. Berbeda secara
ushul (pokok) maupun perincian (tafshiliyah). Dr. Al Qaradhawi pernah
mengatakan, bahwa keimanan Ummat Islam memiliki kemiripan dengan kaum
Yahudi. Keduanya mengajarkan Tauhid. Hanya saja, tauhid dalam model
Yahudi bersifat egoisme qaumiyyah (seakan Tuhannya kaum Yahudi itu hanya
untuk mereka sendiri). Kemudian gambaran tauhid Yahudi itu sudah
tercemar sedemikian rupa oleh tangan-tangan kotor manusia. Hingga
diceritakan disana, suatu saat Allah dipiting (dibekuk lehernya) oleh
Nabi Dawud, lalu Allah akan dilepaskan, setelah Dia mau memberkati Nabi
Dawud. Intinya, Tauhid dalam Islam adalah ajaran yang berbeda dengan
konsep monoteisme Yahudi. Dr. Adian Husaini pernah membahas masalah ini
dalam tulisan-tulisan beliau. Kalau dengan monotesime Yahudi saja
berbeda, apalagi dengan konsep keimanan kaum Nashrani.
KEDUA, pada awalnya ajaran Tauhid Nashrani sama
seperti ajaran Tauhid yang kita yakini. Inilah ajaran Tauhid seperti
yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan Rasul-rasul sebelumnya. Namun
kemudian ketika agama Nashrani diadopsi sebagai agama resmi Kekaisaran
Byzantium (Romawi) terjadi benturan ideologi yang sangat keras. Mereka
mau masuk agama Nashrani asalkan ada perubahan hal-hal fundamental dalam
ajaran itu. Disini lalu dilakukan kompromi. Nashrani menjadi agama
resmi Byzantium, tetapi agama itu harus mengadopsi ajaran-ajaran pagan
(kemusyrikan) yang semula menjadi ajaran kaum Byzantium. Maka mulailah
dimasukkan unsur-unsur pagan dalam agama Nashrani yang semula hanif
(lurus). Unsur pagan itu antara lain: akidah Trinitas (Tuhan Bapak,
Anak, dan Roh Kudus), menganggap Maria memiliki sifat ketuhanan,
pemakaian simbol Salib, hari ibadah pada hari Ahad (Sunday = hari
matahari), perayaan Natal setiap tanggal 25 Desember, pembuatan gambar,
patung-patung, dll.
Katanya, awal invasi nilai-nilai paganisme ini dimulai sejak Konsili
Nicea. Lalu para pengikut Nashrani yang masih setia dengan ajaran Tauhid
yang lurus, mereka melarikan diri. Di antara mereka adalah para pemuda
Ashabul Kahfi yang kita baca dalam Surat Al Kahfi itu. Para pengikut
Tauhid terus berusaha menyelamatkan Injil versi asli yang mengajarkan
nilai-nilai Tauhid secara lurus, misalnya Injil Barnabas. Ada yang
berkata, ditemukannya “Gulungan Kumran” (Scroll of Qumran) di Laut Mati
juga mengarah kepada bukti-bukti ajaran Nabi Isa ‘Alaihissalam yang
masih lurus itu. Intinya, konsep keimanan Kristiani selama ini bukanlah
konsep akidah Isa ‘Alaihissalam yang semestinya. Kebanyakan merupakan
hasil invasi dari ajaran-ajaran paganisme Byzantium.
KETIGA, perbedaan antara akidah Tauhid Islami
(Millah Ibrahim) dengan akidah Kristiani yang paling mendasar ialah
dalam masalah Trinitas. Dalam Islam, Allah adalah Maha Satu, tidak
mempunyai anak dan tidak menjadi anak bagi yang lain, dan tidak ada yang
setara dengan Allah satu pun jua. (Baca Surat Al Ikhlas). Sedangkan
dalam iman Kristiani, mereka meyakini bahwa Tuhan itu ada 3: “Tuhan
Bapak, Yesus Anak Tuhan, dan Roh Kudus.” Malah ada 4, ditambahkan dengan
Bunda Maria.
Dalam praktiknya, yang diperlakukan sebagai “tuhan” oleh kaum
Kristiani banyak. Selain yang sudah disebut itu, ada juga: Salib, Sri
Paus, pendeta (pastor), Santo-santo, dll. Mereka semua itu dibuatkan
patung atau monumennya, lalu diharapkan berkah dan pertolongannya. Dalam
agama Katholik, seorang pendeta selain bisa memberikan pemberkatan, ia
juga bisa mengampuni dosa (ingat bilik-bilik ampunan dosa di
gereja-gereja Katholik). Jadi, kalau dipikir-pikir, ajaran Nashrani hari
ini terlalu banyak dipengaruhi oleh spirit paganisme. Background-nya
ajaran Isa Al Masih, tetapi realitasnya banyak paganisme.
Dalam Surat Al Maa’idah dijelaskan, bahwa Allah tidak suka dengan
ajaran Trinitas itu. Bahkan menyebut siapapun yang meyakini Trinitas,
dia telah kafir. “Laqad kafara alladzina qaluu innallaha tsali-tsun tsala-tsah, wa maa min ilahin illa ilahu wahid”
(sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwa Allah adalah “satu di
antara Tuhan yang tiga”, dan tidak ada satu pun ilah selain Ilah yang
Satu –yaitu Allah-). [Al Maa’idah: 73].
KEEMPAT, perbedaan lain
ialah pandangan seputar Sifat-sifat Ketuhanan Allah itu sendiri. Kaum
Kristiani tidak memiliki konsep yang jelas tentang ketuhanan yang mereka
yakini. Mereka meyakini ada “Allah Bapak” (atau The Father), meskipun
kita tahu keyakinan Allah sebagai bapak ini sangat bathil dan dimurkai
oleh Allah; sebab dalam hal ini Allah disamakan dengan sifat
makhluk-Nya. Kalau kita perhatikan, maka sifat-sifat “Allah Bapak” dalam
akidah Kristiani, tidak memiliki karakteristik tertentu. Kaum Kristiani
memahami Tuhan mereka, seperti apa saja kemauan mereka. Bahkan mereka
menganggap Yesus lebih utama dari semua tuhan itu. Yesus lebih mereka
takuti daripada “Allah Bapak”.
Kalau dalam Islam, Allah Ta’ala dijelaskan dengan sangat baik. Allah
memiliki Sifat dan Nama-nama yang Agung. Kita mengenalnya sebagai Al Asmaa’ul Husna.
Jumlah Asmaul Husna yang perlu dihafal ada 99 Nama, namun jumlah hakiki
dari Nama-nama itu hanya Allah yang Maha Tahu. Selain Rabb kita hanya
satu, maka Rabb itu memiliki Sifat-sifat Kesempurnaan, Kesucian,
Kemuliaan, serta Keagungan, yang kesemua itu hanya layak ada pada-Nya.
KELIMA, perbedaan lain ialah kaum Kristiani meyakini
bahwa Yesus (Isa) memiliki sifat ketuhanan. Bahkan Yesus itu
disembah-sembah sebagai Muslim menyembah Allah Al Wahid. Yesus
diserupakan dengan Ilah kita yang memiliki Keagungan, Kemuliaan, dan
Kesucian. Tetapi lucunya, kaum Kristiani membuat simbolisasi Yesus dalam
gambaran yang sangat hina sekali: Disalib, berdarah-darah, dan hanya
memakai cawat. Kalau misalnya Presiden Obama digambarkan demikian,
pastilah rakyat Amerika akan marah. Tetapi kaum Kristiani tidak marah
ketika “tuhan mereka” dibuatkan simbolisasi seperti itu. Biasanya,
setiap simbol-simbol itu selalu mencerminkan nilai-nilai positif,
seperti harapan, cita-cita, tata-nilai, missi, dan sebagainya. Hanya
dalam simbol kaum Kristiani itu kita temukan nuansa-nuansa kehinaan,
kekalahan, penderitaan luar biasa. Apalagi hal ini berlaku bagi sosok
yang mereka puja sebagai “tuhan”.
Baiklah, kita abaikan dulu soal simbol. Kaum Kristiani meyakini bahwa
Yesus memiliki sifat-sifat ketuhanan. Keyakinan demikian jelas salah.
Ada sebuah dalil luar biasa dalam Al Qur’an. Disana disebutkan: “Wa qaluu maa li hadza ar rasul, ya’kulunat tha’ama wa yamsyi fil aswaq? Lau laa unzina ilaihi malakun fa yakunu ma’ahu nadziran?”
(Dan mereka berkata, ‘Apa-apaan dengan Rasul ini, dia makan makanan dan
berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan seorang Malaikat
sehingga dia bisa memberi peringatan bersama Rasul itu?). [Surat Al
Furqan: 7].
Ayat ini berkaitan dengan keheranan kaum musyrikin, mengapa seorang
Rasul (Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam) itu makan makanan seperti
mereka; berniaga dan berjualan di pasar-pasar, seperti mereka juga.
Dalam bayangkan orang musyrik itu, seorang Rasul mestinya punya sifat
seperti para Malaikat.
Namun ada makna lain yang sangat penting dari ayat di atas. Dan ayat
ini akan diingkari oleh siapapun –termasuk dari kalangan Islam- yang
suka memuja-muja Nabi melebihi martabatnya sebagai manusia. Ternyata,
para Nabi dan Rasul itu manusia biasa. Mereka itu makan makanan dan
mencari kebutuhan hidup atau nafkah di pasar-pasar. Mereka manusiawi
belaka.
Perhatikan, betapa halusnya bahasa Al Qur’an! Anda tahu makna kalimat
“ya’kulunat tha’ama” (memakan makanan)? Apa yang Anda pikirkan kalau
seseorang makan makanan? Berarti dia memiliki rasa lapar dan haus. Dan
satu lagi, kalau makanan itu sudah dimakan, apakah ia akan abadi dalam
tubuh? Pasti sisa-sisa makanan itu akan dikeluarkan dari tubuh dalam
bentuk hal-hal tertentu. Masya Allah, lihatlah betapa halus bahasa Al
Qur’an! Al Qur’an tidak perlu menjelaskan sisi manusiawi para Nabi dan
Rasul dengan bahasa vulgar, tetapi dengan bahasa tinggi. Masya Allah,
laa haula wa laa quwwata illa billah.
Begitu pun dengan Isa ‘Alaihissalam, beliau juga manusia biasa.
Beliau merasakan lapar, haus, makan-minum, serta melakukan buang air
(untuk membuang kotoran dari tubuhnya). Dia berjalan di pasar, membeli
kebutuhan, menawar harga, serta bertransaksi. Maka, makhluk yang seperti
ini tidak layak diberikan sifat ketuhanan. Mereka adalah manusia biasa,
seperti disebutkan dalam Al Qur’an, “Ana basyarun mits-lukum, yuha ilaiya” (aku ini hanya manusia biasa seperti kalian, hanya saja diberikan wahyu kepadaku).
Dalam suatu riwayat dikatakan, Abu Bakar As Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu pernah
mengingatkan pemimpin orang kafir (kalau tidak salah raja Romawi),
bahwa kita ini sebagai manusia pernah dua kali keluar dari lubang
kemaluan (pertama, saat sperma terpancar dari dzakar seorang ayah, dan
kedua, saat dilahirkan dari mulut rahim seorang ibu). Bahkan ada orang
yang lebih ekstrem lagi mengatakan, “Manusia itu diciptakan dari sperma,
kemana-mana dalam tubuhnya membawa kotoran, kalau nanti mati akan
menjadi bangkai.” Ya, kasarnya begitu. Mohon maaf kalau agak vulgar.
Nah, insan dengan sifat-sifat lemah seperti ini tidak layak diberi
posisi sebagai tuhan, diagungkan, dipuja-puja, disembah-sembah,
diberikan sifat-sifat Uluhiyyah. Tidak pantas semua itu. (Sekaligus hal
ini membantah akidah orang Syiah yang sering memuja-muja Ali, Husein,
Hasan, Fathimah, dan lain-lain Radhiyallahu ‘Anhum. Kalau para Nabi dan
Rasul saja tidak boleh diberikan sifat Uluhiyyah, apalagi tokoh-tokoh
tersebut?).
KEENAM, keyakinan kita terhadap Allah Al Jalil
berbeda dengan keyakinan kaum Kristiani terhadap “Allah Bapak”. Ya
karena “Allah Bapak” dalam keyakinan Kristiani ada embel-embelnya
“Bapak” (The Father). Dalam Islam, hal demikian tidak pantas disematkan
kepada Allah. Allah Ta’ala mengatakan, “Lam yalid wa lam yulad”
(Dia tidak mempunyai anak, dan tidak dijadikan anak pihak lain). Di
sisi lain, “Allah Bapak” kaum Kristiani itu tak memiliki sifat-sifat
yang jelas. Sifat dia ditentukan oleh gambaran (fantasi) orang-orang
Kristiani sendiri.
KETUJUH, bantahan ringkas untuk akidah Trinitas
Kristiani. Pertama, dari sisi teori kepemimpinan. Dalam kehidupan
manusia atau semesta, selalu ada kepemimpinan, dan ia bersifat tunggal.
Jika pemimpin berbilang (lebih dari satu), akan terjadi
pertikaian-pertikaian. Dalam konsep manajemen modern, ada yang disebut
“kepemimpinan kolektif” (presidium). Ternyata, disana tetap membutuhkan
seorang pemimpin yang pasti untuk memutuskan kebijakan-kebijakan. Konon,
Isac Newton (seorang Fisikawan terbesar dalam sejarah), semula menempuh
studi di Trinity Academy. Namun, dia kecewa dengan konsep Kristiani
tentang Trinitas. Dalam pandangan sains, sulit dipahami bahwa kehidupan
alam semesta dikontrol oleh kepemimpinan kolektif. Jika demikian, tentu
sistem alam semesta ini akan berbenturan satu sama lain.
Kedua, dari sisi sifat manusiawi seorang Rasul. Isa Al Masih
bagaimanapun adalah manusia biasa, yang merasakan lapar, haus, rasa
takut, kesedihan, dikhianati, kesepian, dll. Sifat manusiawi itu lalu
ditransformasikan oleh kaum Kristiani ke dalam sifat-sifat Ketuhanan,
seperti Keagungan, Kemuliaan, Kesucian, Kekuasaan, Kekuatan, dan
sebagainya. Dan celakanya, dalam transformasi itu kaum Kristiani tidak
bisa melepaskan diri dari keterbatasan sifat-sifat Isa Al Masih sebagai
manusia. Kaum Kristiani seperti “setengah hati”; mereka mau mengangkat
Yesus ke dalam posisi Ketuhanan, tetapi saat yang sama mereka senang
menikmati gambaran-gambaran sentimental tentang sifat Yesus yang
menderita, terabaikan, dikhianati, terzhalimi, terbunuh di tiang Salib,
dll. Intinya, sifat Yesus itu –dalam kacamata Kristiani- ya mengikuti
selera mereka sendiri.
Ketiga, dari sisi teori dominasi. Dari ketiga oknum Tuhan (Tuhan
Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus), seharusnya yang sangat dominan itu
adalah “Tuhan Bapak”, sebab ia adalah pangkal dari konsep Ketuhanan itu
sendiri. Namun dalam praktiknya, yang mendominasi Ketuhanan ini ialah
Yesus. Kaum Kristiani seakan tidak mempunyai jalan yang jelas untuk
berinteraksi dengan “Tuhan Bapak”. Dimana-mana mereka selalu terikat
dengan Yesus yang disimbolkan dengan Salib. Bisa dikatakan, dalam
ketuhanan versi Kristiani, Yesus lebih mendominasi.
Keempat, dari sisi takdir kehidupan. Andaikan Yesus dianggap sebagai
Tuhan yang paling berkuasa, andaikan demikian, mengapa dia mengalami
peristiwa-peristiwa yang menampakkan ketidak-berdayaan dirinya? Dia
dimusuhi, dikejar-kejar, melarikan diri, mengalami penyaliban (menurut
versi Kristiani), dan akhirnya wafat. Kok sifat “Tuhan” selemah itu?
Mengapa sebagai “Tuhan” dia tak mampu menjaga dan melindungi dirinya
sendiri?
Dan kelima, adalah dari informasi Al Qur’an, bahwa sejatinya Isa Al Masih hanyalah seorang Rasul. Dalam Surat As Shaaf, “Wa idz qala Isa ibnu Maryam, ‘Ya Bani Israila, inni Rasulullahi ilaikum”
(dan ketika Isa bin Maryam berkata, wahai Bani Israil, aku ini adalah
seorang Rasul yang diutus kepada kalian). Ayat ini menuntaskan bantahan
atas konsep Trinitas. Bahwasanya, hakikat Isa Al Masih hanyalah seorang
Rasul, utusan Allah, kepada Bani Israil. Maka sangat tidak boleh
mengaitkan dirinya sebagai syarikat bagi Allah Ta’ala dalam Ketuhanan.
Begitu juga sosok Ruhul Qudus (Jibril ‘Alaihissalam) ia kadang disebut
dengan istilah “Rasulun Amin”, utusan Allah yang terpercaya untuk
menyampaikan Wahyu-Nya kepada Nabi dan Rasul. Rasul manusia (Isa) maupun
Malaikat (Jibril) statusnya ya tetap Rasul, bukan Tuhan.
KEDELAPAN, sebagian orang berkata, “Bukankah
keyakinan Allah di atas langit itu sama dengan keyakinan ‘Allah Bapak di
syurga’?” Jawabnya: “Ya jelas beda jauh!” Syurga itu kan tempat, seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi hamba-hamba Allah yang shalih,
mukmin, taqwa, dan ihsan. Disana ada segala macam kenikmatan yang
baik-baik, ada buah-buahan, ada bidadari, ada sungai-sungai yang
mengalir di bawahnya. Sedangkan kata “Allahu di langit”, maksudnya Allah
bersemayam di atas Arasy yang Agung. Arasy jelas beda dengan syurga.
Syurga untuk manusia, sedangkan Arasy adalah tempat dimana Allah
bersemayam di atasnya. Apakah di atas Arasy itu Allah dalam posisi duduk
bersila, berdiri, merebah, menempel, mengawang, atau menyatu? Wallahu
A’lam bisshawaab. Kita tidak diberikan beban untuk mengetahui hal itu.
Seperti kata Imam Malik rahimahullah, “Wa kaifuhu majhul” (dan
bagaimananya Allah bersemayam di atas Arasy, tidak diketahui). Bahkan
kita tak perlu memikirkan hal itu. Disini ada garis demarkasi antara
akal yang pintar dan nalar keblinger. Jangan melampaui garis tersebut,
dengan izin dan pertolongan Allah Ar Rahmaan. Singkat kata, kalimat
“Bapak di syurga” dan “Allah di atas langit”, sangat jauh berbeda.
KESEMBILAN, ada yang berkata, “Kalau kita meyakini
bahwa Allah memiliki sifat Wajah, Tangan, Jari, dll. maka itu berarti
seperti iman kaum Kristiani yang meyakini adanya Tuhan seperti sosok
Yesus yang memiliki wajah, tangan, jari, kaki, dan sebagainya. Bukankah
ini ada kesamaan-kesamaan?” Jawabnya sebagai berikut: Kita sudah
membahas, bahwa Yesus adalah sosok manusia biasa yang memiliki
sifat-sifat manusiawi seperti lapar, haus, takut, sedih, letih, dll.
Dengan sendirinya, Yesus tidak boleh dibawa ke derajat Ketuhanan. Itu
terlalu jauh. Tidak mungkin sosok Tuhan berjalan-jalan di pasar, makan
makanan, buang air, tidur, dll. Yesus tetaplah manusia biasa, bukan
Tuhan. Maka sifat manusia jelas beda dengan sifat Tuhan.
Di sisi lain, gambaran “Tuhan Bapak” bagi Kristiani sangat minim,
kalau tidak dikatakan, tidak ada. Konsep ketuhanan mereka lebih
didominasi oleh Yesus. Dengan demikian, kita tidak bisa membandingkan
antara sosok Allah menurut Islam dengan sosok “Tuhan Bapak” di mata
Kristiani, karena bedanya sangat jauh. Lagi pula, Allah Ta’ala memurkai
adanya embel-embel semacam “Bapak” bagi diri-Nya, sebab “lam yakun lahu
kufuan ahad” (tidak ada satu pun yang setara/semisal dengan-Nya). Dari
sisi ini sudah tampak, bahwa Ketuhanan Islam berbeda sama sekali dengan
ketuhanan Kristiani.
Maka, ketika Allah memberikan penyifatan bagi diri-Nya sendiri,
melalui Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya, dengan sifat Wajah, Tangan,
Jari, dll. hal itu adalah penyifatan yang sesuai dengan Keagungan,
Kemuliaan, Kesucian, Keindahan, serta Kebesaran Allah Ta’ala. Sifat
Wajah, Tangan, Jari, dll. itu tidak bisa disamakan, diperbandingan,
dimiripkan, diasosiasikan, difantasikan, dll. dengan sifat makhluk Allah
(termasuk sifat manusia di dalamnya). Ia adalah sifat-sifat independen
yang sama sekali hanya berhak dimiliki, berlaku, dan disematkan kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja.
KESEPULUH, lalu bagaimana dengan perkataan, “Imani
saja apa adanya, tidak usah takwil-takwilan”? Bukankah kalimat seperti
itu sama seperti kata-kata orang Kristiani, “Sudah imani saja, tak usah
dipikirkan”? Jawabnya: kedua pertanyaan itu jelas berbeda. Ia tidak sama
dari sisi konteks maupun substansinya. Kata-kata dalam ilmu Tauhid agar
seorang Muslim mengimani ayat-ayat seputar Sifat-sifat Allah
sebagaimana adanya, tanpa takwilan, mendeskripsikan, pengandaian,
mengingkari, atau menyerupakan; hal ini bukan karena kita tak boleh
berpikir seperti dalam teologi Kristiani; tetapi kalau memikirkan
Sifat-sifat Allah dengan logika (bukan dengan iman) kita akan sangat
mungkin terjerumus dalam kesesatan (seperti perilaku kaum ahli kalam,
mu’tzailah, penganut shufi, dll). Mengapa? Sebab Sifat-sifat Allah
berbeda dengan makhluk-Nya. Semua hitungan logika dalam urusan makhluk,
tidak bisa disamakan dengan Dzat, Sifat, dan Perbuatan Allah Ta’ala.
Kalau orang Kristiani memaksa jamaahnya agar mengimani Trinitas,
meskipun hal itu melanggar sisi-sisi fitrah akal sehat yang Allah telah
karuniakan kepada manusia, sehingga keluarlah kalimat, “Imani saja, tak
usah dipikirkan.” Maka, dalam mengimani Sifat-sifat Allah, kita dilarang
berpikir liberal (bebas), sebab nantinya tak akan sampai kepada
keyakinan yang benar tentang Sifat Allah itu sendiri. Al Qur’an
menggambarkan sifat setan: “Innama ya’murukum bis su-i wal fakhsya-i wa an taqulu ‘alallahi ma laa ta’lamuun”
(bahwa setan itu menyuruh kalian bebruat jahat, keji, dan berbicara
atas Allah apa yang tidak kalian ketahui). [Al Baqarah: 169].
Sejak zaman Salaf, Nabi dan Shahabat banyak berbicara tentang segala
sesuatu. Tetapi kalau bicara tentang Allah, mereka sangat hati-hati.
Mereka tidak mau lancang masuk ke domain itu. Sebab dalam Al Qur’an,
Allah sering sekali mencela sifat-sifat manusia-manusia kufur atau
musyrik dengan kata-kata seperti, “Subhanahu amma yashifuun”
(Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan). Kalau manusia berpikir
liberal, sesuka hatinya sendiri, tidak merasa takut ketika bicara
tentang Sifat-sifat Allah; ketahuilah, itu adalah tanda-tanda kesesatan.
(brilly/majalahtauhidullah.blogspot.com)
(brilly/majalahtauhidullah.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar