Hikmah pertama dari perjalanan Nabi Ibrahim alaihissalam adalah bahwa
asas utama dan pilar terpenting kehidupan ini adalah Tauhid. Keyakinan
bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak untuk disembah. Tauhid adalah
sumber mata air segala kebahagiaan, ketentraman dan kedamaian. Tauhid
adalah akar utama dari segala kebaikan dan keshalehan. Dengan kata lain,
jika Tauhid telah hancur binasa, kesyirikan menjadi idola dan keyakinan
sehari-hari, maka lenyaplah mata air kebahagiaan dan kedamaian itu. Dan
tercerabutlah sudah akar utama kebaikan dan keshalehan itu. Dan itu
tidak hanya di dunia ini, namun pada kehidupan yang jauh lebih penting
dari dunia, yaitu akhirat. Itulah sebabnya, seluruh nabi dan rasul yang
diutus Allah semuanya membawa misi yang sama, yaitu misi Tauhid. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang
rasul melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan yang
berhak disembah selain AKU (ALLAH), karena itu sembahlah AKU.”
(al-Anbiya’:25)
Karena itu, Ibrahim alaihissalam sejak awal perjalanan hidupnya
telah mengajarkan pada kita betapa pentingnya Tauhid dalam kehidupan
manusia, baik secara individu maupun sosial. Semangatnya untuk
menghadirkan ketentraman, kebaikan dan kedamaian di tengah
masyarakatnya-lah yang mendorong Ibrahim alaihissalam untuk berjuang dan
berkorban menegakkan Tauhid, serta memberantas kesyirikan. Ia rela
dimusuhi bahkan oleh ayahnya sendiri. Ia siap dikucilkan oleh
masyarakatnya. Ia bahkan siap untuk dibakar hidup-hidup oleh penguasa di
zamannya. Untuk apa itu semua?? Untuk menegakkan Tauhid yang merupakan
landasan utama kemuliaan pribadi dan masyarakat.
Banyak persoalan yang terjadi di tubuh bangsa ini akibat lemahnya Tauhid dan kuatnya kesyirikan di tengah-tengah kita. Korupsi yang telah menggoyahkan negri ini misalnya, jelas-jelas merupakan fenomena lemahnya Tauhid para pelakunya. Buktinya, para koruptor lebih takut kepada makhluk daripada Allah Azza wa Jalla. Para koruptor itu lebih takut kepada ancaman hukuman dunia daripada adzab Allah Azza wa Jalla di akhirat. Para koruptor itu lebih takut kepada pengawasan dan penyadapan aparat daripada pengawasan Allah Azza wa Jalla kemudian pencatatan para malaikat Allah yang tak pernah berhenti sekejap pun!
Banyak persoalan yang terjadi di tubuh bangsa ini akibat lemahnya Tauhid dan kuatnya kesyirikan di tengah-tengah kita. Korupsi yang telah menggoyahkan negri ini misalnya, jelas-jelas merupakan fenomena lemahnya Tauhid para pelakunya. Buktinya, para koruptor lebih takut kepada makhluk daripada Allah Azza wa Jalla. Para koruptor itu lebih takut kepada ancaman hukuman dunia daripada adzab Allah Azza wa Jalla di akhirat. Para koruptor itu lebih takut kepada pengawasan dan penyadapan aparat daripada pengawasan Allah Azza wa Jalla kemudian pencatatan para malaikat Allah yang tak pernah berhenti sekejap pun!
Seandainya Tauhid kita kuat dan benar, maka sebesar apapun
peluang untuk melakukan kemaksiatan di hadapan kita tak akan
menggoyahkan kita, karena di hati ini telah terhunjam rasa takut yang
jauh lebih besar hanya kepada Allah. Dalam pikiran kita selalu terbayang
betapa beratnya saat-saat pertanggungjawaban di hadapan Allah nanti.
Jiwa ini selalu mengingat betapa mengerikannya siksa Allah di dalam
neraka Jahannam, wana’udzu billahi min dzalik.
Fenomena lain yang membuktikan bahwa negeri ini mengalami krisis Tauhid adalah masih lestarinya berbagai keyakinan dan ritual yang jelas-jelas merupakan kesyirikan atau setidak-tidaknya adalah jalan yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Fenomena lain yang membuktikan bahwa negeri ini mengalami krisis Tauhid adalah masih lestarinya berbagai keyakinan dan ritual yang jelas-jelas merupakan kesyirikan atau setidak-tidaknya adalah jalan yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Bukankah sebagian kita bahkan telah sampai pada tingkat
menganggap biasa berbagai ritual persembahan serta permohonan berkah,
rezki dan kesembuhan kepada selain Allah yang dipoles dengan nama
warisan budaya nenek moyang?? Padahal bukankah setiap hari kita membaca
berkali-kali dalam shalat kita: “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Sedangkan fenomena kesyirikan seperti inilah yang dahulu
menyebabkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam memerangi kaumnya
sendiri, mereka diperangi oleh Rasulullah dan dicap sebagai “orang-orang
musyrik” oleh Allah, bukan karena mereka tidak mengakui Allah. Sama
sekali bukan! Mereka mengakui bahwa hanya Allah yang menciptakan alam
semesta ini dan mengaturnya. “Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka:"Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?" niscaya mereka akan mengatakan:Allah…"
(Luqman: 25)
Namun bersama dengan itu, mereka merasa perlu mencari perantara lain untuk lebih mendekatkan diri mereka kepada Allah. “Kami tidak menyembah mereka (yang dijadikan sekutu bagi Allah)
kecuali agar mereka lebih mendekatkan kami kepada Allah.” (al-Zumar: 3)
Maka muncullah berbagai berhala dalam kehidupan mereka. Berhala
itulah yang mereka jadikan sekutu bagi Allah dalam doa dan permohonan
mereka, sebagaimana sebagian orang hari ini yang menjadikan kuburan wali
dan hal-hal yang dikeramatkan sebagai perantara menuju Allah!
Satu hal yang harus kita waspadai adalah bahwa perkembangan zaman juga
membuat para pelaku kesyirikan menyesuaikan diri dan memoles kesyirikan
mereka sesuai dengan teknologi yang berkembang. Fenomena ramal-meramal
nasib yang marak dipromosikan melalui media cetak maupun elektronik
adalah salah satu buktinya. Sebagian orang ketika diingatkan tentang
bahaya hal ini dalam agama mengatakan bahwa mereka mengikuti program
ramal-meramal itu sekedar iseng dan tidak sampai pada taraf
mempercayainya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengatakan: “Barang siapa yang mendatangi seorang peramal, lalu bertanya
kepadanya tentang sesuatu maka tidak akan diterima sholatnya selama 40
malam” (HR. Muslim)
Maka, jamaah yang berbahagia, melalui mimbar yang mulia ini,
kami mengingatkan kembali bahwa syarat utama diterimanya semua ibadah
kita di sisi Allah adalah Tauhid. Dan bahwa kesyirikan yang kita lakukan
akan menjadi penghancur utama segala keshalehan dan kebaikan kita,
sebanyak dan sebesar apapun ia. Allah berfirman: “Sungguh jika engkau menyekutukan Allah, pasti akan putuslah
semua amalmu, dan sungguh engkau benar-benar termasuk kaum yang
merugi.” (al-Zumar: 65)
Tauhid adalah sumber kekuatan kita dalam membangun diri,
keluarga dan umat. Karena dengan bertauhid berarti kita menyandarkan dan
menyerahkan seluruh kehidupan kita dengan segala problem dan
persoalannya kepada satu-satuNya Dzat yang Mahakuat, yaitu Allah Azza wa
Jalla.
Sebaliknya, syirik adalah sumber utama kelemahan dan kehancuran kita, karena saat kita melakukan kesyirikan berarti kita menyandarkan urusan dan masalah kita kepada para makhluk yang lemah dan tak berdaya. Para makhluk yang bahkan tak mampu menetapkan manfaat untuk diri mereka sendiri, dan tidak mampu menolak bencana dan musibah dari diri mereka sendiri!
Sebaliknya, syirik adalah sumber utama kelemahan dan kehancuran kita, karena saat kita melakukan kesyirikan berarti kita menyandarkan urusan dan masalah kita kepada para makhluk yang lemah dan tak berdaya. Para makhluk yang bahkan tak mampu menetapkan manfaat untuk diri mereka sendiri, dan tidak mampu menolak bencana dan musibah dari diri mereka sendiri!
Benar-tidaknya Tauhid kita sudah tentu harus dibuktikan dengan cara
melihat seberapa besar kesungguhan kita melaksanakan apa yang menjadi
konsekwensinya. Dan melalui kisah hidup Nabi Ibrahim alaihissalam, Allah
Azza wa Jalla menuntun kita bahwa salah satu bukti penting benarnya
Tauhid kita adalah ketegasan kita terhadap segala upaya untuk melakukan
pengaburan dan penyelewengan terhadap nilai-nilai Tauhid yang diwahyukan
Allah dari atas langit ketujuh. Lihatlah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
yang dengan tegas menyatakan: “Wahai kaumku! Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.” (al-An’am: 78)
Nilai inilah yang diwarisi oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi waSallam, dimana dalam banyak haditsnya beliau mengingatkan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum untuk tidak melakukan hal-hal yang kelihatannya kecil dan remeh, tapi dapat menjadi jalan menuju kesyirikan kepada Allah. Seperti saat beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Janganlah kalian mengatakan: Demi Ka’bah, namun katakanlah: Demi Tuhannya Ka’bah.” (HR. al-Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Nilai inilah yang diwarisi oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi waSallam, dimana dalam banyak haditsnya beliau mengingatkan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum untuk tidak melakukan hal-hal yang kelihatannya kecil dan remeh, tapi dapat menjadi jalan menuju kesyirikan kepada Allah. Seperti saat beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Janganlah kalian mengatakan: Demi Ka’bah, namun katakanlah: Demi Tuhannya Ka’bah.” (HR. al-Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak pernah
ragu untuk menyampaikan teguran tegas ini, karena rasa cinta beliau
kepada umatnya agar tidak terjatuh dalam jurang kesyirikan. Beliau tidak
hilang ketegasannya terhadap kesyirikan dan kesesatan dengan alasan
ingin mempersatukan umat, atau ketegasan semacam itu akan memecah-belah
umat!
Subhanallah… hal apakah yang dapat menyatukan umat Islam selain
Tauhid, yang juga telah menyatukan dakwah para nabi dan rasul
sebelumnya?? Ketahuilah, kaum muslimin sekalian, bahwa kita tidak akan
mungkin bersatu tanpa berpegang pada Tauhid yang benar.
Inilah sesungguhnya yang menjadi alasan mengapa kita semua harus
menajamkan kepekaan kita terhadap setiap ajaran dan aliran sesat, yang
mengatasnamakan Islam namun sebenarnya Islam berlepas diri darinya,
seperti Ahmadiyah yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wasallam dan Syiah yang mencela dan melaknat bahkan
mengkafirkan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Sebab kehadiran ajaran
dan aliran semacam inilah yang terbukti dalam sejarah menjadi penyebab
utama hancurnya persatuan dan kekuatan umat Islam.
Dan jalan keluar terpenting untuk membentengi diri, keluarga dan
umat dari kesesatan semacam ini adalah dengan mengokohkan nilai-nilai
Tauhid yang benar, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah, dan diwarisi
para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Itulah sebabnya, ketika Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam
meninggalkan istri dan anaknya di lembah Mekkah yang tandus, kering dan
senyap, beliau berdoa kepada Allah Azza wa Jalla: “Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman,
dan jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala-berhala.”
(Ibrahim: 35)
Beliau tidak mengkhawatirkan kemiskinan dan kemelaratan duniawi
akan menimpa anak-anaknya. Namun yang sangat beliau takutkan adalah jika
anak-anaknya menyekutukan Allah, menyembah berhala, serta berdoa dan
meminta kepada selain Allah.
Bila kita bertanya: seperti apakah sosok orang tua yang dicintai
dan diridhai Allah Azza wa Jalla? Tentu kita tidak ragu untuk
mengatakan bahwa sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah sosok ayah yang
luar biasa yang layak mendapat cinta dan ridha Allah. Maka bila kita
ingin dicintai dan diridhai Allah, ikutilah jejak Nabi Ibrahim yang jauh
lebih memprioritaskan penanaman Tauhid kepada keluarganya dibandingkan
nilai-nilai lainnya.
Dalam doanya yang lain, beliau mengatakan: “Wahai Tuhan kami, sungguh aku menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak bertanaman, di sisi rumah yang dimuliakan. Wahai Tuhan kami, agar mereka menegakkan shalat…” (Ibrahim: 37)
Dalam doanya yang lain, beliau mengatakan: “Wahai Tuhan kami, sungguh aku menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak bertanaman, di sisi rumah yang dimuliakan. Wahai Tuhan kami, agar mereka menegakkan shalat…” (Ibrahim: 37)
Perhatikanlah prioritas-prioritas yang dipintakan Nabi Ibrahim
kepada Allah untuk keturunannya! Jadikan mereka pelaku Tauhid. Dan
jadikan mereka sebagai penegak shalat sejati.
Maka sungguh ironis jika kita lebih khawatir bila anak-anak kita tidak memiliki keterampilan dan keahlian hidup untuk masa depan duniawinya, namun tak pernah takut jika mereka tak punya “keterampilan” dan “keahlian hidup” untuk masa depan akhiratnya. Sungguh ironis jika kita mengalami stres luar biasa ketika anak kita mengikuti ujian perguruan tinggi atau penerimaan PNS, tapi kita tidak pernah stres membayangkan apakah anak kita akan lulus dalam ujian alam kubur dan pengadilan Allah di akhirat.
Maka sungguh ironis jika kita lebih khawatir bila anak-anak kita tidak memiliki keterampilan dan keahlian hidup untuk masa depan duniawinya, namun tak pernah takut jika mereka tak punya “keterampilan” dan “keahlian hidup” untuk masa depan akhiratnya. Sungguh ironis jika kita mengalami stres luar biasa ketika anak kita mengikuti ujian perguruan tinggi atau penerimaan PNS, tapi kita tidak pernah stres membayangkan apakah anak kita akan lulus dalam ujian alam kubur dan pengadilan Allah di akhirat.
Karena itu, belajarlah selalu dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Dengan Tauhid dan ibadah yang benar kepada Allah, anak-anak kita akan
tumbuh menjadi manusia yang kuat dan pemberani. Mereka akan tumbuh dalam
keyakinan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang akan mati kecuali
setelah ia menerima semua rezki yang ditakdirkan Allah untuknya. Mereka
akan tumbuh dengan keyakinan bahwa rezki Allah tidak bergantung pada
gelar akademik dan pekerjaan pada instansi tertentu. Rezki Allah ada di
seluruh penjuru bumi ini untuk mereka yang bekerja keras dan bertawakkal
pada Allah.
Dengan Tauhid dan pembinaan keislaman yang benar, insya Allah
dengan izin Allah, anak-anak kita akan terbentengi dari
pengaruh-pengaruh negatif yang semakin menggila di zaman ini dan zaman
mendatang. Jika mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa Allah selalu
mengawasi mereka, maka insya Allah kita yakin mereka tak akan mengakses
situs-situs terlarang meski mereka sedang sendiri. Walau tak ada yang
melihat, mereka tak akan tergoda oleh rayuan para bandar narkoba yang
semakin menggila di negeri ini. Dan yang tak kalah pentingnya, dengan
Tauhid dan tarbiyah keislaman yang benar, mereka insya Allah akan
menjadi pejuang-pejuang perbaikan dan kebangkitan bagi umat dan bangsa
ini.
(wahdah.or.id/majalahtauhidullah.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar