Tauhid mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi.
Pertama, Semua sumber daya yang
ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak
dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.
Dalam mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syari’ah. Firman Allah, “Kemudian
kami jadikan bagi kamu syari’ah dalam berbagai urusan, maka ikutilah
syariah itu, Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS. Al-Jatsiyah 18)
Dengan demikian, setiap pengelolaan
sumber daya dan setiap cara dan usaha mencari rezeki harus sesuai dengan
aturan Allah. Demikian pula membelanjakannya seperti spending,
investasi dan tabungan harus sesuai dengan syari’ah Allah. Inilah
implikasi dari konsep tauhid atau teologi ekonomi Islam.
Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung) bertentangan dengan tawhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa keuntungannya besok”,(Ar-Rum
: 41) Padahal setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu untung,
impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan pun bisa
berbeda-beda, bisa besar, sedang atau kecil. Jadi, konsep bunga
benar-benar tidak sesuai dengan syari’ah, karena bertentangan dengan
prinsip tauhid.
Kedua, Allah menyediakan sumber
daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang
berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak
itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, sumber
daya – sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak
terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. (QS. 14: 34)
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas ( limited
). Sedangkan dalam ekonomi Islam, sumberdaya alam banyak dan melimpah.
Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu
negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena
tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud
ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ). Banyak sekali ayat Al- qu’an
menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun
jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif dimaksudkan untuk kehidupan
manusia.
Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan
bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada
Allah, menggunakan sarana dan sumber daya sesuai syariat Allah.
Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor –
impor bertitik tolak dari tauhid ( keilahian ) dan dalam koridor syariah
yang bertujuan untuk menciptakan falah guna mencapai ridha Allah.
Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena memenuhi perintah Allah. “Dialah
yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya
kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15).
Ketika memproduksi sumber daya pertanian,
misalnya, seorang muslim menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah
ibadah kepada Allah. Demikian pula ketika berdagang, bekerja di pabrik
atau perusahaan. Semuanya dalam bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun
ia bekerja, makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah.
Tauhid dalam produksi juga mengajarkan
bahwa barang-barang yang diproduksi adalah barang yang baik dan halal.
Pelaku ekonomi yang bertauhid, tidak akan mau memproduksi rokok, miras
apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Dalam bidang jasa,
pelaku ekonomi yang bertauhid tidak akan membuka perhotelan yang penuh
maksiat, hiburan (diskotik) dan wisata yang sarat kemungkaran, lokasi
perjudian, pelacuran, dsb. Semua itu harus dihindarkan karena
bertentangan dengan syariat Allah.
Ketika seorang muslim hendak membeli,
menjual, dan meminjam, ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia
tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang
haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap
menyuap.
Ketika seorang muslim memiliki harta dan
ingin menginvestasikannya agar produktif, ia tidak akan
menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang
berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi
di pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa). Seorang
muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah
seperti sistem mudhabarah, musyarakah. Dan bentuk investasi syariah
lainnya.
Ketika seseorang mengkonsumsi sesuatu, ia
tidak berlebih-lebihan, israf dan mubazzir, karena perilaku tersebut
dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36) Meskipun
sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah
tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah
perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan
serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber
daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta
memperhatikan lingkungan.
Ketika seorang muslim mempunyai sejumlah harta, ia tidak memakannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang
mendapat harta diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya
itu kepada masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak
untuk menerima distribusi itu.
Kekayaan etika (akhlak) ekonomi Islam
dalam kegiatan ekonomi seperti yang digambarkan di atas sama sekali
tidak diajarkan dalam ekonomi kapitalisme. Karena menurut faham ini,
memasukkan gatra nilai etis dalam ekonomi dinilai tidak relevan.
Tauhid juga memiliki hubungan yang kuat dengan
prinsip-prinsip ekonomi Islam yang lain, seperti keadilan, persamaan,
distribusi dan hak milik dan lain sebagainya.
Komentar
Posting Komentar