Al Qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan dan keyakinan tentang
keesaan Allah ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal
tersebutmerupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. Ar Rum : 30)
Dalam ayat lain dikemukakan bahwa : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman) : “ Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “
Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan. “ (Q.S. Al A’raf : 172)
'Kehadiran' Tuhan juga dijelaskan Al Qur’an melalui peniupan ruh ke dalam diri Adam. "Ketika Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian
ruh-Ku, rebahkanlah dirimu bersujud kepadanya." (Q.S. Al Hijr : 29)
Juga melalui : “ Kami akan Memperlihatkan kepada mereka Tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. (Q.S. Fushilat : 53)
Mencermati penjelasan di atas jelas sekali bahwa “tidak ada manusia
yang tidak ber-Tuhan”. Kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang
merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud
tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti
bahwa pada akhirnya – sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya – ia akan
mengakui-Nya.
Merujuk kepada Al Qur’an, dapat kita temukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid. "Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku." (Q.S. Al Anbiya : 25)
Merujuk kepada Al Qur’an, dapat kita temukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid. "Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku." (Q.S. Al Anbiya : 25)
Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan paling
esensial. Dengan mengatakan “tidak ada Tuhan selain Allah”, seorang
manusia-tauhid memutlakkan Allah yang Mahaesa sebagai Khaliq atau
mahapencipta, dan menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau
ciptaan-Nya. La ilaha illa Allah meniadakan otoritas dan petunjuk yang
datang bukan dari Tuhan. Seorang manusia-tauhid mengemban tugas untuk
melaksanakan tugas membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia
kepada menyembah Allah semata.
Dengan tauhid, manusia tidak saja akan
bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama
dengan manusia lain mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau
inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah hamba Allah
yang berstatus sama. Juga tidak ada kolektivitas manusia, baik sebagai
suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari yang lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah.
Yang membedakan satu dengan lainnya di hadapan Allah hanyalah tingkat
ketakwaan pada Allah.
Di samping membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan
kepada sesama makhluk, kalimah tauhid juga mengajarkan emansipasi
manusia dari nilai-nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila
kekuasaan, harta dan kesenangan-kesenangan sensual belaka. Suatu
kehidupan yang didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan dan
penumpukan kekayaan, pasti akan mengeruhkan akal sehat dan mendistorsi
pikiran jernih. Dengan tajam Al Qur’an menyindir orang-orang semacam ini: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?.
Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itumendengar atau
memahami?. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (Q.S. Al Furqan : 43-44).
Tidak cukup jika orang hanya mengakui adanya Tuhan tanpa
ada perbaikan tingkah laku. Ruang batin manusia sedemikian luas, bahkan
jauh lebih luas dari langit dan bumi. “Kesadaran religius” harus menjadi “kesadaran
moral”. Manusia tidak cukup hanya tahu bahwa Tuhan itu ada, karena
pengetahuan itu menjadi naif jika manusia tidak semakin baik.
Pengetahuan itu harus membawa manusia pada perubahan diri (taransformasi
diri) ke arah yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar