REPRESENTASI TAUHID
Bagaimanakah
konsekuensi dari tauhid? Setidaknya, ada dua hal yang menjadi konsekuensi dari
ketauhidan kita kepada Allah.
Pertama, melaksanakan ibadah
sebagai manifestasi ketaatan kita kepada Rasulullah. Konsekuensi dari
keimanan bahwa Allah adalah khaliq, adalah menjalankan ibadah. Al-Qur’an telah
menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan manusia melainkan untuk beribadah
kepada-Nya (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini, aktivitas manusia pada
hakikatnya adalah beribadah kepada Allah, baik dalam konteks ritual maupun
sosial.
Ada dua jenis ibadah: ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah
‘ammah (sosial). Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah
mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan
asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Dengan demikian, dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada
dua persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan sesuai dengan tatacara
yang dicontohkan oleh Rasulullah. Sabda Rasulullah, “Barangsiapa mengerjakan
suatu amalan yang tidak ada urusannya dariku, maka ia tertolak” (Arba’in
An-Nawawiyah, hadits ke-5). Dari hadits tersebut, tentu saja kita dilarang
untuk melakukan hal-hal yang sama sekali tak pernah diajarkan atau
diperintahkan oleh Allah dalam persoalan ini. Seluruh ibadah yang bersifat
ritual (ibadah mahdhah) harus memiliki legitimasi nash dari dua sumber primer
hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadits. Jika tidak memiliki dalil yang kuat, kita
patut berhati-hati
Banyak bentuk dari bid’ah yang bertebaran di masyarakat.
Aktivitasnya tak perlu disebutkan di sini, karena masalah ini telah
menjadi perdebatan klasik di antara umat Islam sejak dulu. Akan tetapi,
mengingat masalah ini jelas menjadi persoalan besar, perlu pendekatan khusus
untuk menyikapinya. Di sinilah pentingnya dakwah bil hal kepada masyarakat yang
masih belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai Islam.
Sedangkan untuk ibadah ‘ammah (muamalah), kaidah ushul
fiqh yang berlaku justru terbalik. Pada titik inilah ijtihad bermain. Sehingga,
tajdid (pembaharuan) memainkan peranan yang begitu penting dalam pelaksanaan
muamalah ini. Masalah-masalah yang meragukan ke-syar’ian-nya, memerlukan
penelaahan dan kajian mendalam oleh para ahli, baik ahli fiqh muamalah atau
pakar pada bidangnya. Sehingga, konsep muamalah-lah menaungi
aktivitas-aktivitas sosial yang kita lakukan selama ini.
Kedua, mengimplementasikan tauhid dalam kehidupan sosial. Setelah kita meyakini tauhid dengan semua implikasinya,
kita juga harus mengintegrasikan tauhid dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk
mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar. Seorang
muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu
esa, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul
keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Hal inilah yang disebut sebagai
amal shalih.
Satu hal lagi yang penting adalah bahwa tauhid menuntut seorang muslim untuk menerapkan fungsi keadilan, karena kepekaan terhadap hak-hak kemanusiaan mengharuskan adanya perilaku adil kepada Allah, sesama manusia, maupun kepada lingkungan sekitar. Pendekatan ‘tauhid sosial’ dapat menjadi alternatif di tengah krisis multidimensional yang melanda bangsa ini.
Maka, pertanyaan yang patut dilontarkan saat ini adalah,
sudahkah Tauhid kita jadikan manifesto perjuangan hidup kita? Mari menyongsong
kebangkitan umat dengan Tauhid yang benar. Mari kembali kepada Al-Qur’an dan
Hadits.
Komentar
Posting Komentar