Merupakan suatu perkara yang tidak bisa disangkal, bahwa
alam semesta ini pasti ada yang menciptakan. Yang mengingkari hal tersebut
hanyalah segelintir orang. Itu pun karena mereka tidak menggunakan akal sesuai
dengan fungsinya. Sebab akal yang sehat akan mengetahui bahwa setiap yang
tampak di alam ini pasti ada yang mewujudkan. Alam yang demikian teratur dengan
sangat rapi tentu memiliki pencipta, penguasa, dan pengatur. Tidak ada yang
mengingkari perkara ini kecuali orang yang tidak berakal atau sombong dan tidak
mau menggunakan pikiran sehat. Mereka tidaklah bisa dijadikan tempat berpijak
dalam menilai.
Dzat yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam
semesta ini adalah Allah subhanahu wa ta`ala. Inilah yang disebut dengan
rububiyyah Allah. Tauhid rububiyyah adalah sebuah keyakinan yang diakui bahkan
oleh kaum musyrikin. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman: “Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari
langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala
urusan? Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: Mengapa kamu tidak
bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus: 31)
Oleh sebab itu, selayaknya manusia hanya menyembah kepada
Allah subhanahu wa ta`ala saja. Allah subhanahu wa ta`ala telah menciptakan
untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk
mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala juga membantu
mereka untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rezeki. Sedangkan
Allah tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
(Adz-Dzaariyaat: 56-58)
Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fithrah. Namun asal fithrah ini dirusak oleh bujuk rayu syaithan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para syaithan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu
musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-pekataan
yang indah-indah untuk menipu manusia” (Al-An’aam: 112)
Tauhid adalah asal yang terdapat pada fithrah manusia
sejak dilahirkan. Sedangkan kesyirikan adalah sesuatu yang mendatang dan
merasuk ke dalam pikiran manusia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah di atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah.” (Ar-Ruum:
30) Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak yang lahir,
dilahirkan atas fithrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi,
Nashroni, atau Majusi” (HR.Al-Bukhari) Berarti asal yang tertanam pada diri manusia secara fithrah
adalah bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta`ala.
Kesyirikan adalah Sebab Perselisihan Manusia
Mulai masa Nabi Adam `alaihis-salam sampai kurun waktu
yang cukup panjang setelahnya, manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai
agama tauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman: “Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu. maka Allah
mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”
(Al-Baqarah: 213)
Kesyirikan berawal pada masa kaum Nabi Nuh
`alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh `alaihis-salam sebagai rasul yang
pertama. Allah ta`ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah
memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh
dan nabi-nabi yang kemudiannya.” (An-Nisaa`: 163)
Jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh `alaihimas-salam
adalah sepuluh generasi yang seluruhnya berada di atas Islam. Sebagaimana
penjelasan Ibnu `Abbas radhiyallahu ta`ala `anhu.
Ubay bin Ka`ab rodiyallahu ‘anhu membaca firman Allah
ta`ala dalam surat Al-BaQaroh ayat ke-213 dengan bacaan sebagai berikut,
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu, lalu mereka
berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan.” Bacaan Ubay bin Ka`ab di
atas dikuatkan oleh firman Allah ta`ala: “Dahulu manusia hanyalah ummat yang satu, kemudian mereka
berselisih.” (Yuunus: 19)
Para nabi diutus karena perselisihan manusia. Mereka telah
keluar dari agama yang benar sebagaimana yang mereka pegangi sebelumnya.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim
`alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu
merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar
penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka
Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallohu `alaihi wa
sallam menjadi nabi yang terakhir.
Rasulullah shallallohu `alaihi wa sallam menyeru manusia
kepada agama tauhid dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Beliau
berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Sampai tegak kembali agama
tauhid dan runtuh segala penyembahan terhadap berhala. Saat itulah Allah
menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi alam semesta.
Selanjutnya generasi yang terbaik dari umat ini berjalan
di atas ajaran tauhid. Namun setelah masa mereka berlalu umat ini kembali
didominasi oleh berbagai kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai
pemikiran baru yang mengembalikan kepada syirik. Bahkan pengaruh dari
agama-agama lain cukup kuat mewarnai semangat keagamaan yang mereka miliki.
Sejarah penyebaran syirik terulang pada umat ini
disebabkan para penyeru kesesatan. Sebab lain yang tak kalah penting adalah
pembangunan kuburan-kuburan dalam rangka pengagungan terhadap para wali dan
orang-orang shalih secara berlebihan.
Dengan demikian maka kuburan menjadi tempat pengagungan
lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah. Berbagai amalan
diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa, penyembelihan, nadzar dan yang
selainnya.
Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia
sampai zaman ini. Hari-hari belakangan kesyirikan telah sedemikian dahsyat
melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti
tentang tauhid dan bersih dari syirik.
Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia.
Tauhid, Hak Allah atas Segenap Manusia
Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib
untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk
bertauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku” (Ad-Dzaariyaat: 56)
Sebagian ulama menafsirkan kalimat: “supaya menyembah-Ku” dengan makna: “supaya mentauhidkan-Ku”. Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan
bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal
bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain
bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah
subhanahu wa ta`ala berfirman: “Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan”. (Al-An`aam:88) “Jika kamu mempersekutukan
(Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang
yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada
para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan
yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.
Tauhid adalah hak Allah subhanahu wa ta`ala sebagai
Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala
sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah subhanahu
wa ta`ala.
Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat
besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah subhanahu wa ta`ala untuk mendapatkan
hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.
Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka
bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan
kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia
masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga
kegelapan. Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan
serta menjaga kehidupannya melainkan Allah subhanahu wa ta`ala. Ibunya sebagai
penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.
Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan
baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih
sayang dan tanggung jawab.
Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala
terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak
manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan
binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari
manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.
Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut
kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya.
Allah subhanahu wa ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun
kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.
Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada
Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan
keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala
berfirman: “Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat
syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas
seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh
amal keburukan mereka dengan yang setimpal. Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan
bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.
Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan
beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah
tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya
menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat. Allah
subhanahu wa ta`ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu
seorang penolong pun.” (Al-Maaidah: 72)
Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah
menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan
mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan
petunjuk.” (Al-An`aam: 82) Kedzoliman yang dimaksud
dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhari)
Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum
muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai
sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian
hari. Allah subhanahu wa taala berfirman: “Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah
orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari
kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Az-Zumar: 15)
Disalin dari artikel Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi
Al-Maidani dengan sedikit penyesuaian tata tulis dan bahasa.
(Brilly/majalahtauhidullah.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar