Sebelum membahas konsep tauhid imamah, pertama-tama yang harus dipahmkan adalah, bahwa pada konteks sekarang, ketika berbicara tentang penyimpangan Syiah, maka yang dimaksud adalah Syiah Imamiyah alias Rafidhah. Sebab, Imamiyah merupakan jenis Syiah mayoritas di dunia. Negara Syiah Iran, dikendalikan oleh ideologi Imamah ini.
Hal juga
yang perlu diluruskan dalam pemikiran Syiah adalah, tentang penggunaan istilah
‘syiah-moderat’ (mu’tadil). Dalam litelatur manapun tidak ada istilah
‘syiah-moderat’. Jika hendak dimunculkan istilah tersebut, haruslah didasari
dari hasi kajian ilmiah dan penelitian mendalam. Jika belum ada kajian ilmiah
tentang term tersebut, maka kita tidak boleh terburu-buru menggunakan term
tersebut. Dari segi makna, juga rancu. Di lihar dari sisi ajaran, akidah Syiah
ternyata tidak ada yang moderat.
Jika
yang dimaksud adalah Syiah Zaidiyah, juga kurang tepat. Dalam litelatur,
Zaidiyah tidak pernah disebut ‘moderat’. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari bahkan
berfatwa, Zaidiyah bukan madzhab yang sah (baca Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya Hasyim Asyari). Zaidiyah memang dekat
dengan Ahlussunnah. Mereka tidak merujuk al-Kafi, Bihar al-Anwar, dan
lain-lain. Rujukan Zaidiyah bahkan Bukhari-Muslim. Meski begitu Hasyim Asy’ari
tidak mengakuinya sebagai madzhab sah dalam Ahlussunnah.
Ketika
penulis mengkaji Syiah, maka yang dimaksud adalah Syiah yang menjadikan al-Kafi, Bihar al-Anwar, al-Istibshar dan lain-lain sebagai rujukannya. Kenyataannya, Syiah saat ini
tidak membuang kitab-kitab tersebut. Termasuk pengikut Syiah Indonesia.
Jika
menelaah kitab-kitab induk Syiah, maka akan ditemui kejanggalan-kejanggalan
ideologis. Dari segi konsep tauhid, Syiah sangat ekstrim, bahkan mengandung
ideologi takfiri. Berikut, penulis bedah secara singkat konsep tuhid Syiah.
Kajian ini bukan dalam tujuan memecah Islam, namun berupaya mengumpulkan kaum
Muslimin dalam satu shaf Ahlussunnah. Sebab, sejak awal kelahirannya
Syiah diasaskan oleh orang-orang yang hendak memecah Islam. Hal ini sesuai
dengan julukan yang diberikan oleh Imam Ali Zainal Abidin, yaitu “rafidhah”,
yang artinya berlepas diri.
Tauhid
dalam keyakinan Syiah dan Ahlussunnah memiliki sejumlah titik pembeda. Dalam
keyakinan Syiah, tauhid yang murni dikonsepsikan satu paket dengan
imamah. Imamah sendiri merupakan kepercayaan paling sentral. Kepercayaan
terhadap imamah menjadi syarat mutlak untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Syiah
membatalkan tauhid seseorang karena ingkar terhdap imamah. Tidak sah keimanan
seseorang – meskipun secara tulus beriman kepada Allah dan Rasul–Nya jika tidak
ditopang oleh kepercayaan terhadap keimamahan Syiah. Al-Majlisi, seorang ulama
Syiah kenamaan mengatakan, “Ketauhilah bahwa kalimat syirik dan kufur itu
ditujukan — sebagaimana termaktub dalam teks-teks Syiah — terhadap orang-orang yang
tidak mempercayai keimamahan Ali dan para imam setelah beliau yang terdiri dari
keturunan beliau, dan mengutamakan orang lain daripada mereka, menunjukkan
bahwa orang-orang itu kafir dan kekal di neraka” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar,
23/390).
Dalam
Ahlussunnah, khalifah dan imam tidak menjadi syarat sah keimanan seorang
mu’min. Ia merupakan jabatan kepala Negara yang dipilih melaluisyuro. Sama sekali tidak terkait dengan tauhid. Justru, tauhid seorang
muslim bisa rusak jika ia mengkultuskan secara membabi buta seorang manusia
melebihi Nabi dan Malaikat.
Namun,
keyakinan Syiah, kultus pada imam justru menjadi pondasi keimanan. Dalam tafsir al-Qummi – kitab tafsir Syiah dikatakan bahwa apabila seseorang mengakui
keimamahan selain imam Ali dan keturunannya, maka semua amal ibadahnya
digugurkan Allah (Tafsir al-Qummi 2/251). Dalam akidah Syiah, mengakui
kepemimpinan orang lain selain Ali dan keturunannya dicap sebagai musyrik. Di
sinilah letak perbedaan tauhid yang sangat tajam ditemukan, dan saling bertoak
belakang antara Syiah dan Ahlussunnah. Konsep keimanan dan syirik berbeda.
Ayat-ayat
yang berkaitan dengan tauhid, syirik dan sebagainya dita’wil oleh ulama’ Syiah
dengan konsep Imamah sebagai landasannya. Umumnya ayat yang berkaitan
dengan konsep syirik misalnya, ditafsirkan secara konstan tidak lepas dari
kepercayaan kepada para imam Syiah.
Istilah al-Syirku dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak dimaknai sebagaimana mufassir
Ahlussunnah, bahwa artinya menyekutukan Allah, menjadikan selain Allah sebagai
Tuhan. Mufassir Syiah memaknai dengan arti “menyekutukan para iman”, bukan
menyekutukan Allah sebagaimana akidah Ahlussunnah.
Salah
satu di antaranya, surat al-Zumar ayat 65. Terjemahan ayat tersebut adalah:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum
kamu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. Al-Kulaini dalam kitab al-Kafi menjelaskan bahwa yang dimaksud
menyekutukan dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan imam Ali dengan
kepemimpinan orang lain.
Surat
al-Baqarah ayat 36 yang menjelaskan tentang persaksian keimanan kepada Allah
dan Rasulullah diselewengkan menjadi keimanan terhadap imam dan Ahlul Bait.
Terjemahan ayat tersebut adalah, “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin) ‘Kami
beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. Ayat ini ditafsirkan
oleh al-Kulaini bahwa yang dimaksud beriman kepada yang diturunkan Allah adalah
beriman kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan para imam setelah mereka.
Namun,
pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an tersebut tidak pernah diajarkan oleh Ali dan para
imam keturunannya. Hasan putra Ali, justru mengecam orang-orang yang
mengkultuskan Ali r.a secara berlebihan. Hasan r.a menyebut orang-orang Syiah
yang berkeyakinan bahwa Ali akan hidup kembali sebelum hari Kiamat sebagai
orang-orang pembohong (Siyar a’lam al-Nubala’ 3/263). Ali Zainal Abidin, cucu Ali r.a, melarang keras kelompok
yang ‘menyembah’ Ahlul Bait bak seperti berhala. Ia berkata, “Wahai
penduduk Irak, cintailah kami seperti mencintai Islam. Jangan cintai kami
seperti orang jahiliyah mencintai berhala. Sebab, cinta yang telah kalian
tunjukkan kepada kami hanya menjadi cela bagi kami” (Siyar a’lam an-Nubala’ 4/302).
Dengan
demikian, bisa menyimpulkan bahwa konsep syirik dibongkar dengan
memasukkan konsep Imamah sebagai dasarnya. Syirik, yang dalam pemahaman
Ahlussunnah adalah mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain selain-Nya,
diperluas maknanya sehingga menjadi orang yang mempersekutukan Allah dan yang
mempersekutukan imam Ali.
Konsep
syirik tidak sekedar penyekutuan terhadap Tuhan, tapi juga kepada imam yang
notabene adalah manusia. Konsep seperti ini tampak mirip dengan paham
‘antroposentrisme’ –yaitu paham yang meyakini manusia sebagai kebenaran. Meski
bukan persis sama dengan antroposentrisme yang berasal dari tradisi Barat. Akan
tetapi, konsep akidah Syiah yang menjadikan imamah sebagai sentral keyakinan
menjadikan para imam sebagai asasnya, dapat dikatakan memiliki
unsur-unsur paham antroposentrisme.
Konsep tauhid kepada Allah,
ternyata tidak dapat berdiri sendiri dalam Syiah. Tauhid Syiah ternyata perlu
ditopang dengan kepercayaan kepada para imam. Dengan demikian, kita bisa
katakana bahwa konsep imamah menjadi pandangan hidup syiah, termasuk menjadi
elemen mendasar dalam konsep tauhid. Perbedaan mendasar dalam ketuhanan ini
makin memerkuat pendapat ulama’ Syiah, al-Jaza’iri yang pernah mengatakan,
“Sesungguhnya kami (Syiah) tidak pernah sama dengan mereka (nawasib/golongan di
luar Syiah) dalam memahami tentang Tuhan, iman dan Nabi”. Jadi, perbedaan
Sunnah-Syiah, bukan sekedar perbedaan madzhab, tapi secara teologis memiliki
garis demarkasi yang cukup jauh.
Komentar
Posting Komentar